Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama

MODERASI AGAMA UNTUK HARMONISASI

BERMASYARAKAT

 

Oleh Ani Muzayaroh, S.Ag

 

 

Agama merupakan kompas kehidupan yang menjamin kehidupan bermasyarakat dapat terwujud dalam keadaan yang ramah dan penuh rahmat, manakala  agama dipahami dan diamalkan secara benar dan tepat. Pemahaman dan pengamalan agama yang tepat dan benar bila mengandung unsur lima hal terpenting. Yaitu  mengedepankan pemeliharaan akal,  pemeliharaan jiwa, pemeliharaan harta, pemeliharaan keturunan, serta pemeliharaan agama itu sendiri. Bila lima unsur utama dalam beragama  ini dijalankan maka sudah pasti harmonisasi kehidupan dalam masyarakat dapat terwujud.

Dalam dataran teknis ada beberapa aspek yang perlu dijalankan dalam moderasi agama sehingga kehidupan yang penuh harmonis dapat dirasakan.  Aspek dimaksud meliputi aspek kejujuran, aspek keadilan hukum, serta aspek sosial dan Aspek Budaya.

1.      Aspek Kejujuran dan kepercayaan

Semasa Rasulullah Muhammad SAW belum diangkat sebagai Rasul bagi seluruh alam, Beliau telah terkenal sebagai seorang yang sangat jujur, berlatar belakang keluarga terhormat dan memiliki kelebihan mampu meredam pertikaian antar suku (kampung). Sehingga beberapa kali Muhammad muda dipercayai memberikan keputusan-keputusan krusial menyangkut kepentingan bersama.

Salah satu contoh paling populer tentang keberhasilan Nabi SAW menyelesaikan sengketa di antara kaumnya sebelum Beliau dimusuhi karena menyebarkan ajaran Islam adalah ketika terjadi peristiwa renovasi Ka’bah. 

Kala itu, masyarakat Makkah merenovasi Ka’bah setelah musibah banjir yang menenggelamkan kota, termasuk bangunan Ka’bah. Kondisi ini  mengundang orang-orang Quraisy harus membangun Ka’bah kembali demi menjaga kehormatan dan kesucian situs peninggalan leluhur mereka, Ibrahim AS yang harus  tetap dijaga kelestariannya.

Menurut riwayat yang paling shahih, ketika itu Nabi berusia 35 tahun. Aktif terlibat dalam pembangunan dari awal hingga akhir. Pada awalnya, mereka bersatu padu, saling bahu membahu di antara mereka. Namun ketika pembangunan memasuki tahap-tahap akhir, yakni pada  prosesi peletakan Hajar Aswad.Mereka mulai berselisih pendapat, Siapakah tokoh di antara mereka yang layak mendapatkan kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad sebagai tanda peresmian penyelesaian renovasi dan mulai dapat digunakan kembali. Banyak pendapat bermunculan dan saling simpang siur. Masing-masing saling ingin mengedepankan pemimpin kelompoknya sendiri sehingga hampir saja terjadi peperangan dan pertikaian  karena persolanan itu.

 Hingga akhirnya Muhammad, Suami Khadijah ini mengajukan usul, ”Siapa pun yang besok pagi datang paling awal ke tempat pembangunan (renovasi) maka dialah yang berhak atas kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad.” Masyarakat pun menyetujuinya, mereka yakin ini adalah jalan terbaik bagi mereka.

Keesokan harinya, ternyata yang datang paling pagi, paling awal adalah Muhammad sendiri, maka Beliaulah yang berhak meletakkan hajar aswad sebagai tanda peresmian Ka’bah kembali. Namun Rupanya Muhammad bukanlah seorang yang egois. Ia kemudian membentangkan sorbannya menaruh hajar aswad di atasnya dan mengajak beberapa tokoh lain untuk turut serta meletakkan hajar aswad bersama-sama.Masing-masing pemimpin kabilah memegang ujung sorban Muhammad dan bersama sama meletekkannya di tempat semula. Maka puaslah mereka atas keputusan Muhammad tersebut. Demikian tersebut dalam kitab Nurul Yaqin fi Siroti Sayyidil Mursalin.

Pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat-sangat luar biasa. Semua sudah tahu bagaimana terpercayanya beliau dan bagaimana kejujuran beliau. Sehingga ketika beliau yang meletakkan Hajar Aswad terselesaikanlah perselisihan yang ada.

Dari kisah di atas maka dapat diambil hikmah bahwa Rasulullah dalam berdakwah sungguh telah menerapkan karakteristik pendakwah sebagai berikut :

 

1.    Seorang pendakwah /penyuluh agama hendaklah bergaul dengan masyarakat dan mengerti akan pentingnya hidup di tengah-tengah masyarakat, walaupun sebagian masyarakat mereka menentang misi dakwahnya, karena prinsip dalam dakwah adalah menyampaikan sedangkan terkait dengan hidayah adalah hak preogatif Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah yang senang bergaul di tengah masyarakat Mekkah. sampai akhirnya masyarakat Mekkah sangat mencintai dan menghormatinya.

 

2.    Seorang pendakwah /penyuluh agama hendaknya memiliki akhlak dan moral yang terpuji sehingga kepribadiannya mampu mempengaruhi jamaah untuk mencintai kebaikan dan kedamaian ,kararkteristik inilah yang menjadi Penyebab paling utama dalam mempengaruhi orang lain adalah akhlak dan moral. Akhlak dan moral Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka menerima beliau; senang tatkala melihatnya, bergembira karena dia menjadi perantara dalam masalah yang mereka hadapi, ridha, dan menerima sebelum dan setelah ia memutuskan.

 

3.    Seorang pendakwah/penyuluh agama hendaknya memiliki jiwa patriotis dan spirit perjuangan yang ekstra  dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi persoalan ummat, dan  Kasus pembangunan Ka’bah adalah penobatan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pahlawan legendaris yang memiliki keutamaan lebih di atas tokoh-tokoh Quraisy. Semua itu sebagai pengantar kenabian yang tidak lama  lagi akan tiba.

 

4. Seorang pendakwah/penyuluh agama  seharusnya mampu memberikan problem solving ditengah permasalahan yang ada di tengah masyarakat sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghalangi terjadinya pertumpahan darah saat itu,serta mampu mempersatukan manusia  setelah mereka berpecah-belah sehingga terjadi hubungan yang harmonis antara beberapa kabilah yang bertikai  ,maka kelak di kemudian hari beliaulah yang akan mempersatukan bangsa Arab dan yang akan menyatukan mereka dengan umat lainnya di bawah bendera keislaman dengan izin Allah Ta’ala.

 

2.      Aspek Keadilan Hukum

Keadilan hukum sangat mempengaruhi keharmonisan bermasyarakat. Karena prinsip keadilan inilah yang menjadikan masyarakat hidup dalam ketenangan dan kedamaian maka Seorang hakim yang adil dan tidak berat sebelah menandakan dirinya sebagai seorang yang bertaqwa. Karena memang keadilan itu sangat dekat dengan nilai ketaqwaan.

Berikut ini sebuah kisah hikmah yang sangat terkenal karena sering disampaikan dalam dunia dakwah . Di satu sisi, kisah ini seakan-akan bertutur tentang ketegasan dan keadilan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab RA dalam menjalankan pemerintahan dan hukum, tetapi di sisi lain, kisah ini mendiskreditkan atau menjelekkan shahabat lainnya, yaitu ‘Amr bin al-‘Ash RA

Adapun kisahnya adalah sebagai berikut:Dari Anas bin Malik RA bahwasanya seorang lelaki dari kalangan penduduk Mesir mendatangi ‘Umar bin al-Khaththab RA seraya berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, seseorang meminta perlindunganmu dari kezaliman.” ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Kau mendapatkan perlindungan.” Lelaki Mesir itu berkata, “Aku berlomba dengan putra ‘Amr bin al-‘Ash, lalu aku mengalahkannya dalam perlombaan itu. Namun, dia malah mencambukku seraya mengatakan, ‘Aku adalah putra dari keluarga terhormat.’” (Setelah mendengar pengaduan itu), ‘Umar bin al-Khaththab segera melayangkan surat kepada ‘Amr bin al-‘Ash dan menyuruhnya datang kehadapan ‘Umar bersama putranya. Tatkala ‘Amr bin al-‘Ash bersama putranya tiba di hadapan ‘Umar, berkatalah ‘Umar, “Di manakah lelaki Mesir itu?” Ketika lelaki Mesir itu muncul, ‘Umar berkata kepadanya, “kau ambillah cambuk dan pecutlah anak dari keluarga terhormat itu!” Maka lelaki Mesir itu pun segera mencambuki putra ‘Amr bin al-‘Ash. Anas bin Malik berkata, “Maka lelaki Mesir itu pun mencambukinya. Demi Allah, dia terus mencambuki putra ‘Amr bin al-‘Ash dan kami pun senang karenanya. Akan tetapi, tak henti-hentinya dia mencambukinya sampai-sampai kami begitu berharap agar dia berhenti.” Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berkata kepada lelaki Mesir itu, “Sekarang, cambuklah ‘Amr bin al-‘Ash!” Lelaku Mesir itu berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, hanya putranya sajalah yang telah mencambukku, dan sekarang aku telah membalasnya.” Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berkata kepada ‘Amr bin al-‘Ash, “Sejak kapan kau memperbudak manusia, padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan merdeka?” ‘Amr bin al-‘Ash berkata, “Wahai Amir al-Mu’minin, aku tak mengetahui kejadian tersebut, dan lelaki Mesir ini pun tak melaporkannya kepadaku.”  Kisah tersebut dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Ibn ‘Abd al-Hakim bin A’yan al-Mishri di kitab Futuh Mishri wa Akhbaraha.

Dari kisah penuh makna di atas memberikan suatu pelajaran bahwa hukum yang adil sangat didambakan dan semua orang akan merasa puas atas keputusan hukum secara adil. Masing-masing akan merasa rela dan tak ada dendam. Hukum yang adil tidak memandang keluarga, kelompok atau golongan, termasuk kepadakerabat,  pejabat atau rakyat. Semuanya diperlakukan sama di hadapan hukum. Dalam sutau riwayat Rasulullah SAW mengatakan sekiranya Fatimah Binti Muhammad mencuri, maka sungguh akan aku potong tangannya.

 

3.      Aspek Sosial

Aspek sosial sangatlah mempengaruhi harmonisasi bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Dari sisi manapun seseorang sangat membutuhkan orang lain. Maka mengedepankan nilai sosial menjadi penting agar kehidupan dengan suasana yang indah, rukun, damai, dan sejahtera dapat diraih. Kepada siapapun tanpa memandang suku, ras, dan agama, hendaklah nilai-nilai sosial selalu dikedepankan dan dijunjung tinggi.

Kita dapat mengambil pelajaran berharga akan sifat sosial shahabat Ali Bin Abi Thalib saat berhadapan dengan keadilan hukum. Dalam suatu peristiwa, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. "Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam 'ini', di tempat 'begini'," kata Ali.

"Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin," jawab dzimmi itu.

"Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu."

"Di antara kita ada seorang hakim Muslim."

"Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana."

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. "Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?"

"Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam 'ini', di tempat 'ini'. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya."

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, "Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?"

"Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah."

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, "Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi."

"Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi."
"Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin."

"Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?"

"Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya."

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, "Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya."

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, "Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,"

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, "Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil."

Ali bin Abi Thalib berkata, "Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini."

 Dari kisah di atas, ternyata bahwa dengan mengedepankan nilai-nilai sosial dalam keadilan hukum sangat memberi arti bagi kehidupan bermasyarakat. Dengan jiwa sosial, lawan akan menjadi kawan. Dengan jiwa sosial akan dapat menambah eratnya persaudaraan.

Ajaran sosial dalam Islam sangat jelas, bahwa disamping menjalin interaksi ritual dengan sang khalik (hablumminallah) juga membangun interaksi sosial dengan sesama (hablum minannas) melalui muamalah dan ibadah sosial seperti kewajiban zakat, anjuran untuk banyak bersedekah, berinfak serta wakaf dan sebagainya. Prinsip tolong menolong dalam Islam (ta’awwun) bersifat umum tidak membeda bedakan agama, suku, ras kelompok atau golongan. Islam mengajarkan siapa yang mengasihani sesama, maka yang ada di langit dan di bumi akan mengasihaninya.

4.      Aspek Budaya

Dalam menjaga harmonisasi di tengah masyarakat seringkali menyampaikan kebenaran harus berbenturan dengan kebudayaan yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat .maka upaya berdamai dengan dengan nilai kebudayaan tanpa melanggar prinsip kebenaran inilah yang di beberapa kisah hikmah di praktekkan oleh Rasulullah, Sahabat dan ulama-ulama kita.

Ada satu kisah yang sangat menarik yang  layak untuk kita ambil hikmahnya dalam rangka menjaga harmonisasi hubungan di tengah masyarakat di antaranya :

 

a)   Semasa Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam berada di kota Mekkah disana sudah ada tradisi di tengah masyarakat Mekkah biasa  menyembelih kibas atau biri biri ketika menyambut kelahiran seorang bayi, maka tradisi ini menjadi dasar aqiqah dalam Islam yakni menyembelih kambing 2 ekor bagi bayi laki-laki dan 1 ekor untuk bayi perempuan.karena seorang bayi akan tergadai dengan aqiqahnya.

 

b)   Semasa Ummar bin Khattab RA, menjadi khalifah maka di utuslah Amer bin Ash RA,untuk menjadi gubernur di Mesir, rupanya di Mesir terdapat tradisi memberikan korban seorang gadis untuk di hanyutkan di  sungai nil agar sungai nil tetap mengalir deras dan memberikan kesuburan kepada masyarakat, tradisi ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam demikian menurut sang gubernur, akhirnya Amer bin Ash mengutus utusan untuk mengirim surat kepada khalifah Ummar bin Khattab RA, dan memerintahkan masyarakat mesir agar menunda upacara pengorbanan sampai khalifah Ummar mengirimkan keputusannya, lalu setelah utusan khalifah Ummar datang dengan membawa sepucuk surat yang menurut utusan tersebut agar surat di lemparkan kepada sungai nil, dan khalifah Ummar berpesan agar Masyarakat Mesir jangan melempar gadis yang akan ke korbankan ke sungai nil sebelum menunggu beberapa saat setelah surat tersebut di lemparkan ke dalam sungai, apabila air sungai tetap mengalir dengan deras maka gadis tadi tidak boleh di jadikan korban namun ketika air sungai menjadi berkurang maka gadis tadi boleh dilempar ke sungai, Meskipun agak bingung dengan instruksi dari Khalifah namun Amer bin Ash dan Masyarakat tetap taat dengan perintah Khalifah Ummar. Maka benar saja ketika surat khalifah di lempar ke atas sungai nil beberapa saat kemudian air sungai justru mengalir sangat deras sehingga gadis tadi tidak jadi dikorbankan dan tradisi mengorbankan seorang gadis ke sungai nil di hapus atas perintah khalifah. Karena penasaran dengan isi surat khalifah untuk sungai nil tadi maka gubernur Amer bin Ash memerintahkan bawahannya untuk mengambil surat khalifah Ummar lalu di bacanya dan isinya adalah “ dari Khalifah Ummar kepada sungai Nil “Bismillahirrahmaniirrahiiim hai sungai Nil jika kamu mengalirkan airnya karena kehendak Allah maka alirkanlah airmu dengan derasdan berikan kesuburan kepada Masyarakat Mesir, namun jika kamu mengalirkan airnya karena kehendakmu sendiri maka surutkan saja airmu itu” Dengan tersenyum gubernur Amer Bin Ash setelah membaca surat khalifah tersebut dan beliaupun mengagumi akan kehebatan dan kecerdasan Khalifah Ummar dalam menyelesaikan persolanan rakyatnya tanpa menimbulkan konflik di tengahnya.

 

c)  Kisah Wali songo di Indonesia dimana  dalam berdakwah di tengah Masyarakat Hindu maka budaya-budaya yang sudah mengakar ditengah Masyarakat di warnai dengan nilai nilai Islam sehingga lambat laun Masyarakat bisa menerima ajaran Islam secara suka rela tanpa menimbulkan konflik di tengah Masyarakat.

 

Dengan demikian Moderasi beragama dalam menciptakan harmonisasi bermasyarakat sejatinya merupakan inti dari ajaran Islam yang rahmatal lil ‘alamin, sehingga seharusnya ummat Islam menjadikannya sebagai spirit perjuangan dalam pergaulan di tengah Masyarakat, maka untuk mewujudkannya setiap muslim  tentu harus memiliki sifat ,Tawadhu (rendah hati)  dan tidak sombong sifat ini akan menjadikan orang berpendapat bahwa kebenaran itu mutlak milik Allah, sehingga tidak merasa paling benar sendiri tidak merasa pintar sendiri dan bisa menerima kebenaran dari orang lain. Sabar dan ikhlas sifat inilah yang akan menjadikan setiap muslim bisa memiliki rasa simpati dan empati kepada sesama sehingga tidak mudah menghakimi dan menghukumi orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya, karena tentu dia akan mencari tahu latar belakang mengapa seseorang bersikap dan berpendapat demikian dan diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada orang lain secara komprenhensif dan menyeluruh. Wallohu a’lam.

 

Daftar Pustaka :

1.  Shirah Nabawi Oleh Sa’id Hawwa

2.  Hiburan orang mukmin oleh Safwak Sa’dalah Al-Mukhtar

Penerbit : Gema Insani Pers

3.  Karakteristik perihidup 60 Sahab


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ciri-ciri Muslim Yang Moderat

PENYULUH AGAMA SEBAGAI AGEN MODERASI

  PERAN PENYULUH AGAMA SEBAGAI AGEN MODERASI DALAM BINGKAI TOLERANSI DI TENGAH KERAGAMAN BANGSA INDONESIA Oleh : Ani Muzayaroh, S Ag   I. PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Indonesia merupakan sebuah negara multietnis , terdri dari banyak pulau, ragam budaya dan bahasa, berbagai suku dan adat istiadatnya, bahkan agama yang dianut oleh masyarakatnya, sehingga perbedaan pandangan dan kepentingan merupakan hal yang biasa terjadi termasuk di dalamnya pemahaman agama bagi pemeluknya. Dalam hal ini negara memiliki peran penting untuk menjamin kebebasan dan keamanan bagi masyarakat untuk memeluk dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang dianutnya, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Dalam masyarakat multikultural, interaksi sesama manusia cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi antar manusia perlu dimiliki setiap anggota masyarakat. Kemampuan tersebut menurut Curtis, mencakup tiga wilay

self reminder