PERAN PENYULUH AGAMA SEBAGAI AGEN MODERASI
DALAM BINGKAI TOLERANSI DI TENGAH KERAGAMAN BANGSA INDONESIA
Oleh : Ani Muzayaroh, S Ag
I. PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan sebuah negara
multietnis , terdri dari banyak pulau, ragam budaya dan bahasa, berbagai suku
dan adat istiadatnya, bahkan agama yang dianut oleh masyarakatnya, sehingga
perbedaan pandangan dan kepentingan merupakan hal yang biasa terjadi termasuk
di dalamnya pemahaman agama bagi pemeluknya. Dalam hal ini negara memiliki
peran penting untuk menjamin kebebasan dan keamanan bagi masyarakat untuk
memeluk dan menjalankan agamanya sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang
dianutnya, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2.
Dalam masyarakat multikultural, interaksi
sesama manusia cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga
masyarakat dalam berinteraksi antar manusia perlu dimiliki setiap anggota
masyarakat. Kemampuan tersebut menurut Curtis, mencakup tiga wilayah, yaitu :
affiliation (kerja sama), cooperation and resolution conflict (kerjasama dan
penyelesaian konflik), kindness, care and affection/ emphatic skill (keramahan,
perhatian, dan kasih sayang).[1]
Kemampuan sosial warga msyarakat yang
demikian itulah yang disebut dengan perilaku moderat. Secara bahasa,moderat
atau moderasi berasal dari bahasa Inggris moderation yang memiliki arti sikap
sedang, sikap tidak berlebihan-lebihan[2] Sementara
dalam bahasa Arabnya, kata moderasi sering diungkapkan dengan kata wasatiyyah.
Kata al-wasatiyyah merupakan nisbah dari kata al-wast (dengan huruf sin yang di
sukun) dan al-wasat (dengan huruf sin yang di fathahkan) yang keduanya
merupakan bentuk masdar (infinite) dari kata kerja al-wasat[3]
dengan demikian Moderasi
beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat yakni memahami dan
mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (pemahaman
agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (pemahaman agama yang sangat
liberal). Istilah moderasi beragama memang baru digaungkan di Indonesia, namun
ide dan semangat moderasi beragama itu sudah tumbuh dan tertanam sejak lama
dalam kehidupan masyarakat Indonesia sampai dengan saat ini.
Dengan demikian hasil dari dekatnya interaksi masyarakat yang moderat
ditengah kehidupan multikultural akan memunculkan sikap toleransi yang tinggi. Dalam hal ini Toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup
masalah-masalah keyakinan dalam diri manusia yang berhubungan dengan akidah
atau ketuhanan yang diyakininya. Setiap orang mestinya diberikan kebebasan
untuk meyakini serta memeluk agama (mempunyai akidah) yang dipilihnya sendiri
dan mendapatkan penghormatan dalam pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut
ataupun diyakininya..[4]
Dalam kehidupan sosial beragama, manusia tdak bisa menafikan
adanya pergaulan, baik dengan kelompoknya sendiri atau dengan kelompok lain
yang kadang berbeda agama atau keyakinan, dengan fakta demikian sudah
seharusnya umat beragama berusaha untuk saling memunculkan kedamaian,
ketentraman dalam bingkai toleransi sehingga kestabilan sosial dan
gesekan-gesekan ideologi antar umat berbeda agama tidak akan terjadi.
Namun tidak bisa dipungkiri
bahwa hingga saat ini munculnya konflik dan gesekan-gesekan yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia khususnya dalam kasus perbedaan pemahaman agama bukannya
semakin berkurang akan tetapi intensitasnya justru semakin meningkat, hal ini
ditengarai dengan semakin luasnya masyarakat dalam mengakses kajian-kajian
keagamaan tidak hanya secara offline namun juga secara online melalui berbagai
media sosial namun tidak dimbangi dengan sikap penerimaan dan pengamalan ajaran
agama secara bijak, sehingga bertambahnya pemahaman ilmu agama bukan berimbas
pada semakin baiknya akhlak dalam pengamalan namun malah sebaliknya,
bertambahnya ilmu agamanya justru memunculkan sikap ekstrem dengan mudah
menyalahkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya.
Berbanding lurus dengan
banyaknya muncul pemahaman sebagian masyarakat yang memiliki sikap liberal,
acuh tak acuh dengan ilmu agama, sehingga memunculkan sikap permissive atau
juga toleransi yang kebablasan dengan dalih kebebasan. Sehingga batas-batas
dalam ajaran agama seringkali diterjang dan dilanggar. Sikap ini muncul akibat
gaya hidup materialistis dan hedonis yang semakin luas menjangkiti pola pikir
masyarakat bangsa ini.
Sejatinya keadaan bangsa Indonesia saat ini dan sebagai
negara multicultural masih banyak
menyisakan problem keharmonisan baik intern maupun antar ummat beragama, yang
tentunya mengharuskan peran dari negara
dan tokoh agama, tokoh masyarakat ,para penyuluh agama untuk andil
secara lebih maksimal dengan sikap adil sebagai penengah dalam menyelesaikan
kasus konflik antar ummat beragama, kita semua tentu berharap agar bangsa
Indonesia tetap dalam keharmonisan dan rajutan toleransi baik antar maupun
intern ummat beragama tidak terkoyak yang justru akan merusak iklim demokrasi
yang selama ini terjalin secara baik dan kondusif.
B.PERMASALAHAN
Dalam pembahasan makalah
ini difokuskan pada bagaimana ide dan semangat moderasi beragama yang sedang
digaungkan di Indonesia bisa membumi ditengah masyarakat bangsa Indonesia ini sekaligus
membahas peran tokoh agama atau penyuluh agama dalam mewujudkan sekaligus
merajut dan mengharmoniskan toleransi di tengah keragaman bangsa Indonesia yang
multikultural dan majemuk.
C.TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah :
1.
Untuk
memahami ide dan semangat moderasi beragama diharapkan menjadi pola pikir
bangsa Indonesia sehingga dapat
menciptakan jalinan toleransi yang saat ini mulai terkoyak ditengah keragaman
masyarakat Indonesia.
2.
Untuk melihat bagaimana peran tokoh agama dan
penyuluh Agama dalam ikut berperan aktif dalam menjalankan sikap moderat dalam
bingkai toleransi beragama di tengah keragaman bangsa Indonesia.
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini
adalah tersedianya kajian-kajian ilmiah mengenai ide dan semangat moderasi agar
menjadi pola pikir masyarakat Indonesia dalam upaya menciptakan toleransi
beragama di tengah kemajemukan dan keberagaman Indonesia.
D.METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan. Ada empat ciri penelitian kepustakaan, yaitu: 1) penelitian
berhadapan langsung dengan teks (naskah) atau data angka dan bukan dengan
pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata(eye witness) berupa
kejadian, orang atau benda lainnya, 2) data pustaka bersifat siap pakai (ready
mode), 3) data perpustakaan umumnya sumber sekunder dan 4) data pustaka tidak
dibatasi oleh ruang dan waktu karena ia sudah merupakan data “mati” yang
tersimpan dalam rekaman tertulis. Maka dalam penelitian ini menggunakan
penelitian kepustakaan.
E.KERANGKA TEORI
a. Moderasi beragama
Moderasi adalah jalan pertengahan, dan
ini sesuai dengan ajaran Islam, sesuai dengan fitrah manusia. Maka umat Islam
disebut ummatan wasaṭan, umat pertenghan. Umat yang serasi dan seimbang karena
mampu memadukan dua kutub agama terdahulu, yaitu Yahudi yang terlalu membumi
dan Nasrani yang terlalu melangit[5]
Sedangkan Moderasi Beragama berarti cara
beragama jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi dengan moderasi beragama
seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran
agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat[6]
Moderasi merupakan sebuah istilah yang
cukup akrab baik dikalangan internal umat Islam maupun eksternal non Muslim.
Moderasi dipahami berbeda-beda oleh banyak orang tergantung siapa dan dalam
konteks apa ia didekati dandipahami.[7]
Dari pengertian diatas kita dapat menyimpulkan
bahwa Moderasi Beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang
mengambil posisi ditengah-tengah. Selain itu selalu bertindak adil seimbang.
b.Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai,
menerima, serta menghormati keragaman budaya dan perbedaan berekspresi.
Alqur‟an merupakan kitab suci yang secara nyata memberikan perhatian terhadap
toleransi. Hal tersebut dapat ditemukan dalam ratusan ayat alquran yang
mendorong toleransi serta menolak intoleransi[8]
Toleransi beragama memiliki arti sikap lapang
dada seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk
melaksanakan Ibadah mereka menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing.
Toleransi merupakan suatu perbuatan yang melarang diskriminasi terhadap
kelompok atau golongan yang berbeda. Toleransi ini biasanya terlihat jelas pada
Agama (keyakinan). Sikap toleransi yang tumbuh dari masing-masing individu
dapat memberikan nilai tersendri apabila terjun langsung ke masyarakat.[9]
Adapun pengertian toleransi antar umat beragama dalam konteks
Indonesia penulis merujuk pada konsep pluralisme agama Mukti Ali yaitu pripsip
“Agree In Disagreement” (setuju dalam perbedaan ) . A. Mukti Ali merupakan
orang yang berperan penting dalam mempromosikan, memperkuat, dan melaksanakan
dialog antaragama, toleransi, dan harmoni. Dalam usaha menciptakan kondisi
kerukunan hidup beragama, Mukti Ali mengusulkan prinsip „setuju dalam
ketidaksetujuan‟ (agree in disagreement) atau sepakat dalam perbedaan untuk
membangun dan memperkuat dialog, toleransi, dan harmoni antara orang-orang dari
budaya, tradisi, dan agama yang berbeda. „Setuju dalam ketidaksetujuan‟ ini
merupakan pendekatan yang memungkinkan masingmasing komunitas agama bebas untuk
percaya dan mempraktekkan agama sendiri. Pada saat yang sama, penganut agama
tidak mengganggu urusan internal agama-agama lain. Setiap umat beragama harus
saling menghormati dan dengan demikian mentolerir yang lain sehingga toleransi
dan harmoni antara orang-orang dari budaya dan agama yang berbeda dapat
diperkuat dan dipertahankan[10]
c. Penyuluh Agama
Penyuluh
agama adalah ASN yang mengemban
tugas dan tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh yang diberikan oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan
agama dan pembangunan melalui bahasa agama (SKB
Menteri: Nomor 574/1999 dan Nomor 178/1999)
Fungsi Penyuluh Agama Islam1)
Fungsi Informatif dan Edukatif Penyuluh Agama Islam memposisikan dirinya
aebagai da’i yang berkewajiban mendakwahkan Islam, menyampaikan penerangan
agama dan mendidik masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai denga tuntutan
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.2) Fungsi
Konsultatif Penyuluh Agama Islam menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik
persoalan-persoalan pribadi, keluarga atau persoalaqn maasyarakat
secara umum.3) Fungsi Advokatif Penyuluh Agama Islam memiliki tanggung jawab
moral dan sosial untuk melakukan kegiatan pembelaan terhadap umat/masyarakat
binaannya terhadap berbagai ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang
merugikan akidah, mengganggu ibadah dan merusak akhlak, sekaligus mampu menjadi
mediator bagi masyarakat yang berkonflik.
Penyuluh agama sebagai ujung tombak
Kementerian Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat dan mengembangkan
visi dan misi Kementerian Agama yaitu terwujudnya masyarakat indonesia yang
taat beragama, rukun, cerdas, sejahtera lahir batin. Dan sebagai corong
pemerintah maka penyuluh agama harus menyampaikan program-program pemerintah
kepada masyarakat dalam Bahasa agama, dalam hal ini kementerian Agama sedang
terus menerus mensosialisasikan tentang program moderasi beragama agar menjadi
ide dan gagasan yang membumi ditengah meningkatnya intensitas konflik beragama
di Indonesia agar toleransi dan harmonisasi tetap menjadi ciri khas bangsa
Indonesia. Dengan demikian peran aktif penyuluh agama harus dioptimalkan secara
maksimal dalam menyampaikan pentingnya memahamkan kepada masyarakat tentang moderasi
dalam pemikiran, dan perbuatan sehingga akan menghasilakan sikap toleransi
beragama ditengah keberagaman masyarakat Indonesia.
II.PEMBAHASAN
A.KAJIAN
KONSEPTUAL MODERASI BERAGAMA
Pemahaman tentang
Moderasi beragama adalah merupakan keseimbangan sikap dalam beragama, dimana
terdapat penghormatan yang baik terhadap keyakinan praktik beragama dan
keyakinan orang lain yang berbeda (inklusif) sekaligus sikap yang seimbang pula
dalam meyakini pengamalan dan praktik agamanya sendiri (ekslusif), sehingga
bersikap ekstrem, fanatik, berlebihan dan revolusioner dalam beragama akan
terhindarkan apabila jalan tengah dan
keseimbangan dalam beragama dipraktekkan
oleh semua ummat beragama.
Dengan demikian kunci bagi terciptanya
kerukunan dan toleransi yang kondusif, antara ummat beragama, baik pada
masyarakat, negara, maupun dunia pada umumnya adalah dengan moderasi beragama.
Karena kunci keseimbangan dalam rangka menciptakan perdamaian dan
terpeliharanya peradaban adalah dengan
pilihan untuk bersikap moderat sekaligus penolakan terhadap sikap
ekstrem dan liberal dalam beragama. Dari sikap moderat inilah diharapkan setiap
ummat beragama mampu menerima perbedaan dengan menunjukkan
rasa hormat, terhadap orang lain yang berbeda, sehingga tercipta kehidupan yang
rukun, damai, penuh harmoni dalam
masyarakat yang multikultural, yang
dalam konteks negaraIndonesia moderasi
beragama bisa jadi merupakan sebuah
keharusan bukan hanya sebagai sebuah pilihan semata.[11]
Adapun prinsip dasar dari moderasi beragama
adalah adil dan berimbang. adil dan berimbang sebagai inti dari moderasi beragama adalah dalam cara pandang, bersikap serta
praktek dari setiap konsep yang berpasangan tadi.
Di dalam
kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata adil adalah : 1) tidak berat sebelah/tidak memihak, 2)
berpihak kepada kebenaran, dan 3) sepatutnya/ tidak sewenang-wenang. Kata wasit
yang merujuk pada seseorang yang memimpin sebuah pertandingan, dapat dimaknai
dalam pengertian ini, yakni seseorang yang tidak berat sebelah, melainkan lebih
berpihak pada kebenaran.
Kedua
adalah prinsip berimbang, merupakan sebuah istilah mengenai gambaran tentang
komitmen, cara pandang dan sikap untuk
selalu berpihak pada, kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan persamaan.
Cenderung dalam sikap yang seimbang tidak dalam arti plin-plan atau tidak memiliki prinsip, akan tetapi sikap seimbang yang dimaksudkan
adalah mampu bersikap tegas (tidak keras), adil, dan berpihak kepada kebenaran,
sehingga hak orang lain tidak terampas dan tidak mengakibatkan kerugian pada
pihak lain. Sehingga cara pandang dan sikap untuk bertindak secukupnya,
tidak kurang sekaligus tidak
berlebih-lebihan, tidak konservatif juga
tidak liberal inilah yang dimaksud dengan keseimbangan.
Menurut
Mohammad Hasyim Kamali, dalam konsep moderasi beragama
(wasathiyah), bahwa prinsip adil
(justice) dan seimbang (balance)
mengandung arti bahwa seseorang tidak
boleh memiliki pandangan yang terlalu ekstrem dalam beragama, namun
senantiasa menemukan jalan keluar, atau selalu mencari titik temu dalam
setiap persoalan, wasathiyah menurut
Kamali merupakan esensi dalam ajaran Islam, dan sebagai aspek penting yang sering dilupakan oleh
ummat Islam.[12]
Setidaknya ada tiga karakter yang
harus dimiliki oleh seseorang agar kedua nilai yang merupakan prinsip moderasi
beragama yakni adil dan berimbang lebih mudah terbentuk dalam masyarakat yaitu
: bahwa seseorang harus memiliki sikap bijaksana (wisdom), tulus (purity) sekaligus berani (courge),
sikap moderat dalam beragama dengan kata lain adalah selalu berada di tengah, dan sikap ini akan lebih
mudah terealisasikan apabila seseorang sekaligus juga memiliki pengetahuan
agama yang luas dan memadai, sehingga mampu bersikap bijak, tidak egois, tulus
serta tahan godaan dengan tidak hanya mengakui tafsir kebenarannya sendiri akan
tetapi juga mengakui dan menghormati tafsir kebenaran orang lain sehingga dalam
menyampaikan ilmu dan pendapatnya dilandasi dengan ilmu yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Diskursus mengenai moderasi
beragama atau washatiyah termasuk sering dijadikan sebagai bahan diskusi di
Indonesia yang dalam penjabarannya disebutkan menjadi tiga pilar moderasi yakni
moderasi dalam pemikiran, modersai dalam perbuatan, dan moderasi dalam gerakan.
Pilar yang pertama : moderasi dalam
pemikiran keagamaan maksudnya adalah pemikiran keagamaan yang tidak hanya
bertumpu pada teks-teks keagamaan dan memaksakan penundukan realitas dan kontek
baru pada teks, akan tetapi mampu mendialogkan keduanya secara dinamis,maka
orang yang memiliki pemikiran moderat
antara lain ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks,
sehingga pemikiran kegamaan seorang yang moderat tidak semata tekstual, akan
tetapi pada saat yang sama juga tidak akan terlalu bebas dan mengabaikan teks.
Pilar kedua : moderasi dalam bentuk
gerakan, maksudnya adalah bahwa dalam melakukan dakwah atau gerakan penyebaran agama dengan tujuan amar
makruf nahi munkar atau untuk mengajak
pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kemunkaran, maka ajakan tersebut harus
dilandasi pada prinsip melakukan perbaikan, dan dengan cara yang baik pula,
bukan sebaliknya, mencegah kemunkaran dengan cara melakukan kemunkaran baru
berupa kekerasan.
Pilar
ketiga : moderasi dalam tradisi dan praktek
keagamaan maksudnya adalah penguatan relasi antara agama dengan tradisi dan
kebudayaan masyarakat setempat. Kehadiran agama tidak dihadapkan secara
diametral dengan budaya, keduanya saling terbuka membangun dialog menghasilkan
kebudayaan baru.[13]
B.KONSEP TOLERANSI BERAGAMA DI TENGAH KERAGAMAN
BANGSA INDONESIA
Dalam
percakapan sehari-hari kita sering mendengarkan kata toleransi. Disamping kata
toleransi juga terdapat kata tolerer, Kata ini berasal dari bahasa Belanda
berarti membolehkan, membiarkan; dengan pengertian membolehkan atau membiarkan
yang pada prinsipnya tidak perlu terjadi. Jadi toleransi mengandung konsesi.
Konsesi ialah pemberian yang hanya didasarkan kepada kemurahan dan kebaikan
hati, dan bukan didasarkan kepada hak. Jelas bahwa toleransi terjadi dan
berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip
orang lain itu tanpa .[14]
Muhammad Ali
menjelaskan, toleransi merupakan suatu sikap keberagaman yang terletak antara
dua titik ekstrim sikap keberagaman, yaitu eksklusif dan pluralis. Pada titik
yang eksklusif: menutup diri dari (seluruh atau sebagian) kebenaran pada yang
lain. Ada yang bersikap toleran: membiarkan yang lain, namun masih secara
pasif, tanpa kehendak memahami, dan tanpa keterlibatan aktif untuk bekerja
sama. Bersikap toleran sangat dekat dengan sikap selanjutnya yaitu pada titik
pluralis. Yakni sikap meyakini kebenaran diri sendiri, sambil berusaha
memahami, menghargai, dan menerima kemungkinan kebenaran yang lain, serta lebih
jauh lagi, siap bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan itu.[15]
Kajian
konseptual mengenai toleransi tentu sangat tepat diterapkan bangsa Indonesia,
sebagai negara yang berkeragaman dan majemuk. Keragaman merupakan warisan yang
sangat berharga, dalam berbagai bentuk keragaman yang menjadi ciri khas dan
keunikan identitas yang dapat memberikan manfaat positif bagi keberlangsungan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Adapun bentuk
keragaman bangsa Indonesia di antaranya adalah :
1.Keberagaman
beragama
Perlu diketahui, Indonesia termasuk negara
beragama. Setidaknya hingga saat ini ada enam agama di Indonesia yang diakui
dan sah secara hukum dianut atau dipeluk oleh masyarakat.
Keenam agama yang sah dan resmi, yaitu Agama
Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
3.
Keragaman adat
istiadat.
Keberagaman
masyarakat di Indonesia membentuk adat istiadat. Terdapat berbagai jenis adat
istiadat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Misalnya dalam hal aturan
mengenai konsensus dan kesepakatan dalam menjalankan nilai dan norma di
masyarakat.
Hal ini sudah
diberikan secara turun temurun pada setiap generasi atau garis keturunan yang
ada di dalam setiap masyarakat. Adat istiadat ini juga berupa tata kelakuan,
kesopanan, kesusilaan, yang mana sudah dilakukan secara turun temurun pada setiap
generasi.
4.Keragaman
suku.
Warisan sejarah
yang dimiliki bangsa Indonesia dalam keragaman suku memang menjadi keunikan
tersendiri. Bahkan berbagai suku yang ada telah memberikan keistimewaan akan
keberadaan Indonesia di mata dunia.
5.Keragaman
budaya.
Kebudayaan yang dimiliki oleh
setiap masyarakat menjadi bentuk keberagaman yang tidak bisa dihindari.
Mulai dari kebudayaan dalam bidang
kesenian tari, lukisan, rumah adat, lagu daerah, cerita rakyat/drama, pakaian
adat, tradisi maupun upacara yang dimiliki setiap masyarakat.
6.Keragaman
ras.
Ras adalah
sebagai cara untuk melakukan pengkategorian pada manusia, mulai dari ciri-ciri
fisik tertentu yang berbeda-beda, seperti rambut, kulit, dan lainnya. Dalam
KBBI, ras merupakan golongan bangsa yang berdasarkan pada ciri-ciri fisik.
7.Keragaman golongan dan kelompok etnis.
Keberagaman
selanjutnya yang tak bisa dielakkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yaitu
perihal adanya golongan dan atau kelompok etnis.
8.Keragaman kepentingan dan politik.
Berbagai keberagaman di dalam
masyarakat tidak hanya menyangkut budaya, ras, suku, namun ada juga keberagaman
dalam bentuk Politik, Ekonomi, Pasar atau perdagangan.
Yang dimiliki setiap masyarakat
dalam kehidupannya sehari hari. Berbagai perspektif yang ada inilah bentuk
keragaman masyarakat di Indonesia. Ada pula keragaman kepentingan juga politik
ikut mewarnai betapa beragamnya Indonesia dalam berbagai sisi.
9.Keragaman
Bahasa daerah.
Keberagaman yang
lain adalah dalam penggunaan bahasa daerah yang berbeda-beda pada setiap
kelompok masyarakatnya.
Dari macam-macam bentuk keberagaman Indonesia maka
semangat toleransi tentu harus mengakar kuat dalam benak setiap anak bangsa,
agar tercipta keharmonisan dan ketentraman. Namun demikian fokus bahasan dari
tulisan ini maka keberagaman dalam hal keyakinan dan agama yang akan menjadi
pondasi yang kokoh dalam menjaga kerukunan ummat dan masyarakat Indonesia.
Sebagai pondasi yang kokoh maka
toleransi umat beragama merupakan pondasi dasar dalam segala aspek kehidupan
yang plural ini, termasuk dalam hal kemajuan suatu bangsa dari segi sumber daya
manusianya maupun pembangunan untuk kemaslahatan. Dan kerukunan adalah dambaan
serta harapan semua orang, sehingga setiap orang bisa melaksanakan hak dan
kewajibannya dengan aman dan suka cita tanpa ada kekhawatiran yang menyelimuti.
Dan toleransi ummat beragama ini
memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan bangsa
Menurut Jirhanuddin Adapun manfaat
toleransi umat beragama antara lain yaitu:
1. Meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan keberagaman masing- masing agama. Masing-masing penganut agama dengan
adanya kenyataan agama lain, akan semakin mendorong menghayati dan sekaligus
memperdalam ajaran-ajaran agamanya serta semakin berusaha untuk mengamalkannya.
Maka dengan demikian keimanan dan keberagamaan masing-masing penganut agama
akan dapat lebih meningkat lagi. Hal ini semacam persaingan yang positif yang
perlu dikembangkan dan ditanamkan pada tiap-tiap umat beragama.
2. Menciptakan stabilitas nasional
yang mantap. Dengan terwujudnya kerukunan hidup antar umat Bergama, secara
praktis ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan akibat perbedaan paham yang
berpangkal pada keyakinan keagamaan dapat dihindari. Ketertiban dan keamanan
nasional akan terjamin, sehingga mewujudkan stabilitas nasional yang mantap.
3. Menunjang dan mensukseskan
pembangunan. Dari tahun ke tahun pemerintah senantiasa berusaha untuk
mensukseskan pembangunan dari segala bidang, namun apabila umat beragama selalu
bertikai dan saling mencurigai satu sama lain, maka hal itu akan menghambat
usaha pembangunan itu sendiri. Dan salah satu usaha agar kemakmuran dan
pembangunan di segala bidang selalu berjalan dengan baik, sukses dan berhasil
diperlukan toleransi antar umat beragama sehingga terciptanya masyarakat yang
rukun.
4. Terciptanya suasana yang damai
dalam bermasyarakat. Ketika antar sesama manusia bisa hidup harmonis dalam
bingkai kerukunan tanpa ada pembedaan yang menyakiti atau menindas pihak lain,
maka yang tercipta adalah suasana damai dalam masyarakat. Kedamaian juga
merupakan tujuan dari hidup bermasyarakat, kebersamaan dan toleransi antar umat
beragama menjadi kunci perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
5. Memelihara dan mempererat rasa
persaudaraan dan silaturahim antar umat beragama. Memelihara dan mempererat
persaudaraan sesama umat manusia atau dalam bahasa agama Ukhuwah Insaaniyah sangat
diperlukan bagi bangsa yang majemuk atau plural kehidupan keberagamaannya.
Dengan toleransi umat beragama, maka Ukhuwah Insaaniyah tersebut akan melekat
dan percekcokan atau perselisihan akan bisa teratasi.
6. Menciptakan rasa aman bagi
agama-agama minoritas dalam melaksanakan ibadahnya masing-masing. Rasa aman
bagi umat beragama dalam melaksanakan peribadatan dan ritual keyakinan yang
dianutnya merupakan harapan hakiki dari semua pemeluk agama. Dan salah satu
manfaat terciptanya toleransi umat beragama adalah menjamin itu semua, tidak
memandang umat mayoritas maupun umat minoritas. Toleransi umat umat beragama
menjadi pengingat bahwasanya dalam beragama tidak ada unsur keterpaksaan untuk
semua golongan.
7. Meminimalisir konflik yang
terjadi yang mengatas namakan agama. Konflik merupakan suatu keniscayaan yang
mengiringi kehidupan manusia, selama ada kehidupan potensi konflik akan selalu
ada. Konflik disebabkan dari berbagai sumber, termasuk juga dalam hal keagamaan.
Konflik yang mengatasnamakan agama menjadi sangat sensitif bahkan sangat
berbahaya bagi masyarakat, karena melibatkan sisi terdalam manusia. Akan
tetapi, apabila setiap pemeluk agama
bisa saling menghormati dan saling toleran hal ini akan bisa meminimalisir
terjadinya konflik atas nama agama.[16]
C.PENYULUH AGAMA SEBAGAI AGEN
MODERASI DAN MERAJUT TOLERANSI
Dalam
pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa penyuluh agama adalah ASN yang mengemban tugas dan tanggung
jawab, wewenang dan hak secara penuh yang diberikan oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan
pembangunan melalui bahasa agama (SKB Menteri: Nomor 574/1999
dan Nomor 178/1999)
Sedangkan moderasi beragama merupakan salah satu program yang telah
dicanangkan oleh kementerian agama tentu harus terus menerus di sosialisasikan
dalam masyarakat dalam hal ini adalah merupakan tugas dari para penyuluh agama
sebagai corong pemerintah dalam hal ini adalah kementerian agama.
Realisasi
dari program moderasi beragama adalah bahwa
saat ini program tersebut sudah dimasukkan ke dalam rencana pembangunan
jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024, yang disusun oleh Kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Diharapkan moderasi beragama ini dapat menjadi bagian tak terpisahkan dari
strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya manusia Indonesia. Dalam
konteks bernegara moderasi beragama sangat penting untuk diterapkan agar paham
keagamaan yang berkembang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pemahaman dan pengamalan keagamaan secara esensial tidak boleh bertentangan
dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Optimalisasi
peran para penyuluh agama sangat penting dalam menjalankan tugas dan
fungsinya di tengah problem keumatan dan
kemasyarakatan yang kian kompleks. Idealnya penyuluh agama juga menguasai peta
dakwah, piawai menganalisis data potensi wilayah, dan menjadi agen perubahan
melalui pemberdayaan.
Mengingat
bahwa hasil akhir yang ingin dicapai dari penyuluh agama, pada hakekatnya ialah
terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai agamanya
secara memadai dan memiliki pandangan beragama yang moderat. Dan itu,
ditunjukkan melalui pengamalannya yang penuh komitmen dan konsistensi seraya
disertai wawasan multikultur untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis
dan saling menghargai satu sama lain.
Ada tiga
syarat untuk menjadi penyuluh agama. Yaitu memiliki kemampuan atau
pengetahuan tentang Agama yang dianutnya, memiliki kemampuan komunikasi,
dan harus ada legitimasi atau pengakuan dari masyarakat. Ketiga syarat
ini harus dibingkai dengan kode etik kepenyuluhan yaitu penyampaikan pengajaran
agama hanya kepada mereka yang seiman atau seagama, penyuluh agama lebih
berpusat kepada umat beragama yang dianutnya dan tidak berkomentar tentang
agama orang lain, tidak melakukan penyiaran agama dengan cara yang tidak
terpuji dan yang terpenting adalah penyuluh agama tidak memprovokasi dan
menyebarkan berita bohong dengan tujuan mengadu domba antar peluk agama yang
satu dengan pemeluk agama lainnya.
Sebagai agen moderasi penyuluh harus berperan aktif dalam mengkampanyekan moderasi
beragama dalam setiap kegiatan kepenyuluhannya, tidak hanya dalam materi-materi
ceramahnya namun juga memiliki sikap beragama yang sedang, atau di
tengah-tengah, tidak berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang
paling benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak
menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral tidak berafiliasi dengan
kepentingan politik atau kekuatan tertentu. Penyuluh Agama Islam juga dituntut harus peka terhadap perkembangan
zaman,dapat mengikuti perkembangan teknologi dan informasi, sehingga dapat
berdakwah mengikuti zamannya. Sekaligus mampu mengcounter berita-berita hoaks
yang meresahkan masyarakat.
Dengan menjalankan tugas dan fungsi penyuluh yaitu Fungsi
edukasi dan informasi, maka sebagai agen moderasi beragama setiap ucapan dan
tindakannya harus mencerminkan karakter moderat , adil dan berimbang
menghindari pembahasan-pembahasan yang bersifat khilafiyah, namun justru
memberikan pemahaman dan ilmu agama yang menyatukan, memadukan ilmu agama
secara konsep dan praktek secara seimbang dengan tetap memperhatikan kearifan lokal,
tanpa menyalahi dari inti ajaran agama yang sebenarnya.
Fungsi konsultatif dan mediasi maka penyuluh agama harus
mampu memberikan solusi dari persoalan keummatan secara adil dan seimbang.
Tidak berat sebelah , memberi solusi tanpa menghakimi. Kemudian sejalan
dengan Nawa Cita ke 9 ( sembilan ) penyuluh agama harus mampu memperteguh
kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan
memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antar
ummat.
Sedangkan dalam menjalankan Fungsi Advokatif Penyuluh Agama
Islam memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk melakukan kegiatan
pembelaan terhadap umat/masyarakat binaannya terhadap berbagai ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan yang merugikan akidah, mengganggu ibadah dan
merusak akhlak.dengan mengedepankan dialog dan musyawarah dalam mencari jalan
tengah yang adil dan berimbang dengan berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.
Dengan demikian penyuluh agama sebagai agen moderasi metode
dakwahnya adalah dakwah moderat, bil hikmah serta terus menerus memberikan pemahaman mengenai
moderasi beragama dalam setiap aktifitas kepenyuluhannya kepada masyarakat
dalam upaya untuk merawat toleransi beragama di tengah keberagaman dan
kemajemukan bangsa Indonesia.
D.STRATEGI PENGUATAN DAN IMPLEMENTASI SERTA
PENGARUSUTAMAAN MODERASI BERAGAMA
Terkait upaya
dan strategi penguatan dan implementasi serta pengarusutamaan moderasi beragama
diataranya melalui beberapa cara yaitu
1. Pendidikan
Kementerian
agama dalam rangka untuk fokus terhadap penguatan dan penajaman pemahaman
keagamaan dalam upaya menggerus
paham-paham radikal maka salah satunya melalui pendidikan. Ada beberapa sektor
yang menjadi sasaran yaitu : pertama melalui keluarga . Kementerian agama sebagai pemegang mandat wewenang
negara dalam hal keagamaan, sekaligus pengawal Undang-undang Perkawinan
No.1/1974, Kementerian Agama dituntut untuk memperkuat praktik beragama yang
moderat melalui stelsel keluarga. Sadar akan pentingnya keluarga
sebagai faktor utama pendidikan maka Kementerian Agama mencoba menanamkan
nilai-nilai luhur melalui berbagai program pembinaan keluarga di semua lini,
mulai dari penyuluhan, pembimbingan di tingkat Kantor Kementerian Agama sampai
tingkat layanan KUA (Kantor Urusan Agama) kecamatan. Bahkan Kemenag mengadakan
program sertifikasi pra nikah bagi para calon pengantin muda dengan
materi-materi yang bukan hanya seputar pernikahan, namun juga berkaitan dengan
moderasi beragama, agar calon pengantin dapat membangun keluarga yang memiliki
kerangka pemahaman yang baik khususnya dalam bidang keagamaan. Kedua melalui
pelatihan-pelatihan kader moderasi kepada para penyuluh agama,
mubaligh-mubalighah sebagai bentuk konsistensi kemenag dalam merawat moderasi
di masyarakat. Dalam hal ini Kemenag telah membuat gebrakan yakni mengadakan
pelatihan kader Muballigh Tingkat Nasional Tahun 2019 lalu, yang berisikan
pelatihan kepada muballigh-muballigh muda agar memiliki pemahaman keagamaan
yang moderat, sehingga nantinya akan menjadi juru dakwah yang syarat akan nilai
persatuan dan kesantunan, jauh dari tindakan kekerasan dan kolot, baik dalam
nuansa dakwah yang akan diserukan. Materi dalam pelatihan ini antara lain ialah
seputar paham keislaman, kebangsaan, dan metode dakwah. Ketiga diketahui
bahwa lembaga-lembaga pendidikan lah yang mempunyai andil besar dalam
mempengaruhi pola berpikir generasi muda, khususnya mahasiswa. Maka tak heran,
apabila lembaga pendidikan menjadi salah satu juru gedor terdepan dalam
mengkampanyekan gerakan moderasi beragama. Strategi memoderasikan Perguruan
Tinggi yang ada di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi Islam Negeri,
termaktub dalam kebijakan Kemenag yakni pendirian Rumah Moderasi. Dimana setiap
kampus diinstrusiksikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Islam
Nomor B-3663.1/Dj.I/BA.02/01/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 Tentang Edaran
Rumah Moderasi Beragama, untuk mendirikan rumah moderasi tersebut guna
membentengi semua elemen yang berada dalam kampus dari serangan paham radikal.
Ini juga merupakan bukti nyata dari formula moderasi Kemenag.
2. Kebijakan
pemerintah sebagai strategi budaya, dan
memajukan SDM.
Pengarusutamaan
moderasi beragama dipahami sebagai strategi yang di aplikasikan secara rasional
dan sistematis untuk menjadikan cara pandang, sikap dan perilaku beragama yang
moderat sebagai perspektif dan landasan berpikir bagi setiap warga negara dalam
membangun SDM (sumber Daya manusia) Indonesia.
Wacana moderat
atau washatiyah dalam konteks agama Islam sudah dikenal lama dan menjadi konsumsi
bersama sehingga Pemerintah Indonesia telah merealisasikan program moderasi beragama, saat
ini program tersebut sudah dimasukkan ke dalam rencana pembangunan jangka
menengah nasional (RPJMN) 2020-2024, yang disusun oleh Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Diharapkan moderasi
beragama ini dapat menjadi bagian tak
terpisahkan dari strategi kebudayaan dalam memajukan sumber daya manusia
Indonesia. Dalam konteks bernegara moderasi beragama sangat penting untuk
diterapkan agar paham keagamaan yang berkembang tidak bertentangan dengan
nilai-nilai kebangsaan. Pemahaman dan pengamalan keagamaan secara esensial
tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan dalam berbangsa dan
bernegara.
Dalam hal
pendekatan budaya Keberhasilan dakwah walisongo
di pulau Jawa berhasil karena
mengedepankan pendekatan budaya. Penghargaan nilai-nilai budaya lokal oleh
Walisongo menjadi pintu masuk bagi Islamisasi. Akulturasi dan enkulturasi
budaya dan Islam tanpa sungkan dikembangkan walisongo sehingga menarik banyak
orang untuk masuk menjadi bagian dari mereka. Inilah keberhasilan yang perlu
dicatat dalam sejarah. Secara tidak langsung pendekatan budaya memang dapat
menjadi pintu masuk bagi pengarusutamaan moderasi beragama.
Terdapat enam opsi pilihan dalam mensukseskan program pengarusutamaan
budaya untuk moderasi beragama, yakni melalui: 1) Meningkatkan literasi budaya
dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. 2) memfungsikan
organisasi-organisasi keagamaan sebagai agen budaya, 3) sinergitas program
pembangunan sumber daya manusia pemerintah dengan organisasi-organisasi
keagamaan dengan titik tekan pada literasi keagamaan dan kebudayaan sekaligus.
4) mewadahi kegiatan-kegiatan budaya dan agama dalm bentuk lembaga-lembaga
permanen. 5) dilegalisasi melalui perarturan pemerintah dan atau undang-undang.
6) penerbitan buku besar-besaran terkait tema-tema budaya dan agama untuk
moderasi beragama.
Terkait dengan Pembangunan
sumber daya manusia seharusnya menjadi aspek yang sangat penting dalam proyeksi
negara. Negara boleh melahirkan para teknokrat, saintis dan profesional yang
ahli di bidangnya. Namun mereka akan sia-sia dan tidak memberikan konstribusi
apa-apa tatkala mereka memiliki pandangan dan sikap keagamaan yang ekstrem
serta ekslusif, karena hal itu justru akan memberikan dampak destruktif pada
negara, salah satu contohnya dengan menyebut Negara Indonesia adalah negara thaghut, negara kafir dsb.
Oleh karena itu menurut
Kemenag salah satu strategi berikutnya untuk menguatkan moderasi beragama ialah
dengan mengeluarkan kebijakan, yaitu kewajiban memiliki pandangan beragama yang
moderat bagi seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan militer (TNI), baik yang
sudah aktif menjabat maupun dalam proses perekrutan. Pihak-pihak tersebut
dinilai memiliki kedudukan yang sentral, sebagai pengawal konstitusi
terimplementasi, karena negara sudah membayar mereka dan menuntut mereka untuk
menjalankan amanat konstitusi.
Implementasi moderasi
beragama berikutnya dapat dilihat dari pandangan terhadap anti kekerasan atau
radikalisme, yang berusaha merubah sistem sosial dan politik secara total dan
instan dengan jalan kekerasan, baik verbal (perkataan) maupun non-verbal
(fisik). Aspek-aspek yang telah disebutkan di atas sejatinya memiliki
keterkaitan kuat dalam implementasi moderasi beragama. Dalam hal ini, aspek
komitmen bernegara menjadi imunitas dalam menangkal virus intoleransi dan
radikalisme atas nama agama. Jika daya tahan ideologi seseorang kuat, maka
dengan mudah akan mampu menangkal pengaruh intoleransi dan paham-paham radikal.
Oleh sebab itu, pentingnya menguatkan komitmen bernegara dengan memperkuat
konsensus kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Misi dari moderasi beragama harus mampu menciptakan persamaan persepsi seluruh
umat beragama, bahwa komitmen menjaga kesatuan Indonesia adalah bagian dari
mengamalkan ajaran agama. Sebagai contoh mengamalkan ajaran agama tercermin
dari sikap menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai warga negara, agar tercapai
situasi negara yang rukun, damai dan sejahtera.
III. PENUTUP
A.KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Pemahaman tentang Moderasi beragama adalah merupakan keseimbangan
sikap dalam beragama, dimana terdapat penghormatan yang baik terhadap keyakinan
praktik beragama dan keyakinan orang lain yang berbeda (inklusif) sekaligus
sikap yang seimbang pula dalam meyakini pengamalan dan praktik agamanya sendiri
(ekslusif), sehingga bersikap ekstrem, fanatik, berlebihan dan revolusioner
dalam beragama akan terhindarkan apabila
jalan tengah dan keseimbangan dalam
beragama dipraktekkan oleh semua ummat beragama.
Sedangkan
pengarusutamaan moderasi beragama adalah strategi yang dilakukan secara
rasional dan sistematis untuk menjadikan cara pandang sikap, dan perilaku
beragama yang moderat sebagai perspektif dan landasan berfikir yang diterima
bersama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
2.
Toleransi merupakan suatu sikap keberagaman yang terletak antara
dua titik ekstrim sikap keberagaman, yaitu eksklusif dan pluralis. Bersikap
toleran sangat dekat dengan sikap selanjutnya yaitu pada titik pluralis. Yakni
sikap meyakini kebenaran diri sendiri, sambil berusaha memahami, menghargai,
dan menerima kemungkinan kebenaran yang lain, serta lebih jauh lagi, siap
bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan dan keberagaman bangsa Indonesia.
3.
Optimalisasi peran para penyuluh agama sangat penting dalam
menjalankan tugas dan fungsinya di
tengah problem keumatan dan kemasyarakatan yang kian kompleks. Dan sebagai agen moderasi penyuluh harus berperan aktif dalam mengkampanyekan moderasi
beragama dalam setiap kegiatan kepenyuluhannya, tidak hanya dalam materi-materi
ceramahnya namun juga memiliki sikap beragama yang sedang, atau di
tengah-tengah, tidak berlebihan. Tidak mengklaim diri atau kelompoknya yang
paling benar, tidak menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak
menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral tidak berafiliasi dengan
kepentingan politik atau kekuatan tertentu. Penyuluh Agama Islam juga dituntut
harus peka terhadap perkembangan zaman,dapat mengikuti perkembangan teknologi
dan informasi, sehingga dapat berdakwah mengikuti zamannya. Sekaligus mampu
mengcounter berita-berita hoaks yang meresahkan masyarakat.
B. SARAN-SARAN
1. Kajian-kajian dan diskusi tentang konsep moderasi beragama
sudah sangat intens dilakukan dikalangan akademisi, tokoh agama dan tokoh
masyarakat, namun sejatinya kelompok ini sudah masuk dalam kategori kelompok
moderat, akan lebih ideal apabila kajian ataupun diskusi moderasi beragama
dengan menghadirkan kelompok-kelompok yang di sinyalir memiliki paham atau
ideologi yang condong kepada radikalisme/ekstrim sehingga akan didapatkan titik temu tentang
moderasi beragama ini menjadi mindset/ pola pikir setiap kelompok ataupun
golongan masyarakat bangsa Indonesia.
2. Sikap toleran muncul karena terbentuknya mindset/pola
pikir moderat dari masyarakat yang sudah tertanam dalam jiwanya, maka literasi
masyarakat tentang toleransi seharusnya tidak hanya sampai pada dataran konsep
saja, idealnya toleransi bangsa Indonesia yang sudah terlanjur terpola dari
dulu semakin dikembangkan dengan semakin
banyak dibentuk adanya kampung2 toleransi atau ruang-ruang publik yang mencerminkan toleransi
dalam keberagaman bangsa Indonesia secara proporsional.
3. Penyuluh agama sebagai agen moderasi yang sekaligus garda
terdepan kementerian Agama dalam memberikan pemahaman-pemaham moderasi kepada
masyarakat seringkali harus berhadapan dengan konflik yang melibatkan banyak
kelompok kelompok yang bertikai bahkan
adakalanya berakibat pada adanya resiko secara moril dan material sekaligus
keamanan fisik, oleh karenanya idealnya penyuluh agama dilindungi tidak hanya
karena adanya regulasi tapi sebuah badan hukum yang bisa melindungi dan
pendampingan sebagai bentuk pembelaan para penyuluh agama dalam menjalankan
peran dan fungsinya, sehingga bisa lebih maksimal dalam upaya memoderasi pola
pikir masyarakat dalam bingkai toleransi beragama ditengah keberagaman dan
kemajemukan bangsa Indonesia.
.
DAFTAR PUSTAKA
-Asnawi Syarbini, “Moderasi Agama Meneladani
Nabi Muhammad SAW” (Banten, 2015-2020)
-Darwis Muhdina, “Kerukunan Agama Dalam
Kearifan Lokal Kota Makassar’ (Makassar: Perpustakaan Nasional, 2016)
-H. A. Mukti Ali, 1996, “Memahami Beberapa
Aspek Ajaran Islam”, (Bandung: Mizan)
-Isnan Ansory, Wasathiyyah: Membaca Pemikiran
Sayyid Quthb Tentang Moderasi Islam (Jakarta: Rumah Karet Publishing,
2014),107.
-Jirhanuddin, Perbandingan Agama (Yogyakarta :Pustaka
Pelajar,2010)
-John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia: An English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia
Pustaka,2009) Cet. 29, 384.
-Kementerian Agama RI, “ Moderasi beragama “ (
Jakarta : Balitbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2019 )
-Kementerian Agama RI, “Tanya Jawab Moderasi
Beragama”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2019), cet
1, p.2-3
-Mohammad Hasyim Kamali, “ The middle Path of
Moderation in Islam, The Qur’anic
Principle of wasathiyah,” (Oxford : Oxford University Press 2015 )
-M.Arif Kiswanto, https://ibtimes.id/moderasi-beragama-dalam-bingkai-toleransi diakses pada hari kamis tgl 7
Juli 22, pukul 10.00 WIB.
-Nugraha. (2008). Wawasan Multikultural.
Bandung: BDK Bandung
-Pengertian toleransi beragama , 2016, http://
www.blogspot.com (diaksaes pada tanggal 11 juli 2022) pada pukul 09.00 wib.
- Said Agil Husin Al Munawar, Fikih
Hubungan Antar Umat Beragama (Jakarta: Ciputat Pess, 2003)
-Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi:
Inklusivisme, Pluralisme dan Muktikulturalisme, (Jakarta: FITRAH, 2001)
-Zainuddin Muhammad dan In’am Esha, Islam
Moderat (Konsepsi, Interpretasi, dan Aksi), Malang: Uin Maliki Press februari
2016)
BIODATA PENULIS
NAMA :
Ani Muzayaroh, S Ag, M Pd
TTL :
Cilacap, 01 Maret 1973
ALAMAT : Perum Griya Tamansari 2 Kembangsari Srimartani Piyungan
JABATAN :
Penyuluh Agama Islam Fungsional
TEMPAT TUGAS :
KUA Imogiri Kemenag Bantul
[1] Nugraha. (2008). Wawasan Multikultural. Bandung: BDK Bandung.
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia: An
English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Gramedia Pustaka,2009) Cet. 29, 384.
[3] Isnan Ansory, Wasathiyyah: Membaca Pemikiran Sayyid Quthb Tentang
Moderasi Islam (Jakarta: Rumah Karet Publishing, 2014),107.
[4] M.Arif Kiswanto, https://ibtimes.id/moderasi-beragama-dalam-bingkai-toleransi diakses pada hari kamis tgl 7
Juli 22, pukul 10.00 WIB.
[5] Asnawi Syarbini, Moderasi Agama Meneladani Nabi Muhammad SAW,
(Banten, 2015-2020),p.18-19
[6] Kementerian Agama RI, “Tanya Jawab Moderasi Beragama”, (Jakarta:
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI 2019), cet 1, p.2-3
[7] Zainuddin Muhammad dan In’am Esha, Islam Moderat (Konsepsi,
Interpretasi, dan Aksi), Malang: Uin Maliki Press februari 2016),p.63
[8] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme,
Pluralisme dan Muktikulturalisme, (Jakarta: FITRAH, 2001), cet 1, h.452
[9] Pengertian toleransi beragama , 2016, http:// www.blogspot.com
(diaksaes pada tanggal 11 juli 2022) pada pukul 09.00 wib.
[10] H. A. Mukti Ali, 1996, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
Bandung: Mizan, Hlm. 62.
[11] Kementerian Agama RI, “ Moderasi beragama “ ( Jakarta : Balitbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019 ) hlm, 18.
[12] Mohammad Hasyim Kamali, “ The middle Path of Moderation in Islam,
The Qur’anic Principle of wasathiyah,” (Oxford : Oxford University Press 2015 )
hlm 29.
[13] Kementerian Agama RI, “ Moderasi beragama “ ( Jakarta : Balitbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019 ) hlm, 28.
[14] Said Agil Husin Al Munawar,
Fikih Hubungan Antar Umat Beragama (Jakarta: Ciputat Pess, 2003). h. 13
[15] Darwis Muhdina, Kerukunan Agama Dalam Kearifan Lokal Kota Makassar
(Makassar: Perpustakaan Nasional, 2016),h.37
[16]
Jirhanuddin, Perbandingan Agama (Yogyakarta :Pustaka Pelajar,2010),h.193-194
Komentar
Posting Komentar